Bagaimana Seharusnya Guru Menutup Pelajaran?

Ebook

Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd.

Tulisan kali ini menyempurnakan pembahasan adab-adab seorang guru terhadap majelisnya. Adab-adab ini penting dihadirkan seorang guru di hadapan  murid-muridnya, bahkan mampu menampakkan kewibawaan dirinya. Pertama, memperlakukan para murid dengan baik dan memerhatikan kebaikan mereka saat pelajaran. Seorang pelajar adalah seseorang yang sedang berproses untuk membentuk akhlak mulia pada dirinya. Dalam perjalanan belajarnya, tentulah seorang guru menghadapi keburukan-keburukan akhlak mereka agar dapat diperbaiki. Guru harus memahami bahwa yang sedang ia hadapi adalah manusia dan bukan robot. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki kesabaran yang luas. Maka hendaknya, guru senantiasa bersikap ramah dan berwajah menyenangkan di depan murid-muridnya. Apakah ia murid baru ataukah murid lama. Khusus untuk murid yang baru, maka seorang guru harus memahami bahwa jika ia tidak bersikap ramah, maka hal itu akan membuat sang murid merasa canggung. Namun, guru juga tidak perlu banyak memandangnya dan menoleh heran kepadanya, karena hal itu akan membuat sang murid malu dan semakin canggung.

Di dalam majelis para ulama, kadangkala saat mereka mengajar ada orang-orang mulia yang datang di tengah-tengah saat majelis berlangsung. Jika kondisinya seperti ini, maka guru hendaknya diam sejenak sampai orang mulia itu duduk atau mengulang pembahasan masalah untuknya. Ada pula kondisi ada seorang ahli fikih yang datang di ujung waktu majelis. Bagaimana guru menyikapinya? Maka hendaknya guru menunda menutup majelisnya hingga ahli fikih itu duduk, kemudian ia menyempurnakan pembahasan agar yang datang tidak malu karena hadirin berdiri saat dia duduk. Demikianlah cara guru menjaga adab di depan orang yang berilmu. Artinya, seorang guru sedang memerhatikan kebaikan orang-orang yang hadir di majelisnya dengan tidak memajukan atau memundurkan waktu jika tidak ada alasan mendesak dan tidak menambah beban.

Kedua, adab menutup pelajaran. Biasanya sebelum menutup pelajaran, guru merangkum inti materi yang telah ia sampaikan. Guru harus bersikap tawadhu’ terhadap ilmunya, karena tidaklah ia mungkin bisa menyampaikan satu ilmu kecuali atas izin dari pemilik ilmu, Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, hendaklah setiap kali ia menutup pelajaran ia mengatakan “Ini adalah akhirnya” atau “dan yang sesudahnya akan hadir insya Allah”. Lalu ia menyertakannya dengan ucapan wallahua’alam yang bermakna Allahlah yang Maha Mengetahui. Setelah kelas atau majelis ditutup maka hendaknya guru menunggu sejenak hingga semuanya beranjak. Hal ini memberikan beberapa faidah kepada guru, diantaranya adalah guru tidak berdesak-desakan dengan murid; jika pada sebagian murid masih ada pertanyaan, dia bisa bertanya; tidak berkendara di tengah-tengah muridnya jika ia berkendara; dll. Kemudian manakala ia bangkit dari majelisnya ia mengucapkan do’a penutup majelis, subhanaka Allahumma wa bihamdika asyhadu anlaa ilaa ha illaa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik..

Ebook-1

Ketiga, tidak mengajar sebelum dirinya mampu atau kapabel. Hendaknya guru tidak duduk di tempat mengajar bila belum kapabel untuk mengajar. Ia tidak menyampaikan kepada manusia ilmu yang tidak diketahuinya, karena hal itu berarti mempermainkan agama dan melecehkan masyarakat.

Dari Asy-Syibli,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يُعَلِّمَ وَهُوَ لَمْ يَكُنْ أَهْلًا لَهُ فَقَدْ حَفَرَ لِنَفْسِهِ حُفْرَةَ الذُّلِّ

“Barangsiapa mengajar sebelum masanya (belum kapabel) maka dia menggali lubang kehinaan bagi dirinya sendiri.”1

Orang yang berakal adalah orang yang menjaga dirinya dari sesuatu yang menyebabkan siapa yang terjerumus ke dalamnya dinilai kurang, siapa yang melakukannya dianggap zalim, dan siapa yang bersikukuh mempertahankannya dipandang fasik.

Alhamdulillah, telah selesai pembahasan adab-adab seorang guru terhadap majelisnya. Pembahasan selanjutnya adab-adab seorang guru terhadap muridnya in sya Allah akan hadir. Wallahua’lam bish showab.

Sumber: Kajian Kitab Tadzkiratussami’ wal mutakallim.

  1. Imam Abu Hanifah rahimahullah, menyampaikan bahwa siapa yang mengejar kepemimpinan sebelum waktunya, maka ia akan menanggung kehinaan seumur hidupnya. Ungkapan serupa ini muncul dalam konteks nasihat tentang kewajiban kompetensi sebelum mengajar (disarikan dari Adabul Alim wal Muta’allim karya H. M. Hasyim Asy’ari) ↩︎

Ebook-2

Leave a Comment