Inilah Tanda Ilmu Kita Bermanfaat!

Ebook

Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd.

Biasanya seorang pengajar akan meminta murid-muridnya untuk menunjukkan adab yang baik terhadapnya. Karena itu juga bagian dari ilmu yang harus dibiasakan sedari kecil oleh seorang penuntut ilmu. Tapi bagaimana dengan pengajar itu sendiri? Adakah adab-adab yang harus dimiliki pengajar terhadap dirinya sendiri?

Dalam kitab tadzkiratussami’ walmutakallim karya Imam Ibnu Jama’ah, disebutkan ada adab-adab yang harus dimiliki orang berilmu pada dirinya sendiri sebelum ia mengajarkan ilmunya. Pada tulisan ini, akan dibagikan dua adab diantaranya.

Pertama, ia harus selalu merasa diawasi Allah (muraqabatullah). Merasa diawasi Allah adalah buah dari keimanan kepada Allah. Seorang muslim terlebih orang yang mengajarkan ilmu, seharusnya memiliki sikap ini baik di keadaan sendiri ataupun terang-terangan. Dia selalu merasa takut kepada Allah dalam segala aktivitasnya, perkataannya, dan perbuatannya. Karena dia adalah orang yang dipercaya baik panca inderanya maupun pemahamannya. Sikap muraqabah itu akan mencegahnya dari kemaksiatan. Sementara orang yang bermaksiat saat dia sendirian adalah karena tipisnya rasa diawasi oleh Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul dan juga janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedang kalian mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)

Sikap muraqabatullah lahir dari rasa takut kepada Allah (khouf). Sikap ini melahirkan ketenangan pada diri seseorang karena ia hanya takut apabila dinilai buruk oleh Tuhannya. Sehingga ia tetap akan menjadi hamba yang taat, tidak peduli apakah ada manusia yang melihatnya atau tidak. Orang yang memiliki khouf karena Allah, tidak akan terpengaruh dengan ucapan manusia. Pujian dan celaan tidak merubah ketakutannya kepada Allah. Inilah khouf yang berasal dar ilmu.

Ebook-1

Inilah buah manis dari mempelajari ilmu. Namun, tidak semua orang berilmu dapat mengambil kebaikan dari buah mempelajari ilmu. Imam Syafi’I berkata, “Bukanlah ilmu apa-apa yang dihafal, tetapi ilmu itu apa yang bermanfaat.” Maka, amatlah rugi seseorang yang mencari ilmu,  jika sesudah didapatkan namun tidak bermanfaat apa-apa.

Tanda ilmu itu bermanfaat adalah dengan melihat sejauh mana ilmu berpengaruh terhadap tindakan, perkataan, dan adab kita. Apakah ilmu itu sesuai dengan apa yang kita jalani atau tidak. Jika tidak berpengaruh maka inilah yang disebut ilmu yang tidak bermanfaat. Penyebabnya adalah salahnya niat menuntut ilmu.

Diantara tanda-tanda bagi seseorang yang ilmunya bermafaat adalah, ia selalu bersikap tenang; berwibawa; khusyu’; menghindari hal-hal yang sia-sia; memiliki sikap wara’, tawadhu’ dan tunduk kepada Allah.

Lebih rinci, tanda-tanda ilmu yang bermanfaat sebagaimana yang disampaikan Imam Malil. Imam Malik menulis surat kepada Khalifah Al-Rasyid, isinya “Kalau engkau mengetahui satu ilmu, maka hendaklah engkau lihat atsarnya (bekasnya), ketenangannya, pembawaannya, kewibawaannya, dan kesantunannya.”

Contoh adab orang berilmu adalah saat dia dipangil atau diajak bicara, maka dia menolehkan wajah dan juga badannya ke arah orang yang memanggilnya. Ini juga adalah adab yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat berbicara kepada seseorang. Maka tampaklah dari diri Rasulullah pembawaan yang penuh wibawa dan santun.

Kedua, hendaknya dia menjaga ilmu. Seorang pengajar atau yang berilmu hendaklah melindungi ilmunya sebagaimana penjagaan ulama-ulama salaf terhadap ilmu dan berkhidmat kepada ilmu dengan apa yang Allah jadikan untuknya berupa kemuliaan dan kehormatan. Termasuk merendahkan ilmu dan suatu kemaksiatan, apabila seorang ‘alim hilir mudik membawa ilmunya kepada yang bukan ahlinya dari kalangan para penghamba dunia tanpa alasan darurat atau tanpa hajat kebutuhan. Misalnya seorang ‘alim yang memenuhi undangan untuk mendatangi pintu penguasa yang zalim bukan dalam rangka amar makruf dan nahi mungkar, melainkan untuk membenarkan kezaliman penguasa tersebut dengan ilmu mereka.

Imam Al-Ghzali dalam Bidayatul Hidayah menyebutkan bahwa mendatangi para penguasa yang zalim tanpa hajat adalah kemaksiatan. Karena itu adalah bentuk merendahkan diri dan memuliakan mereka. Padahal Allah telah memerintahkan untuk berpaling dari mereka. Allah Ta’ala berfirman :

أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا۟ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوٓا۟ إِلَى ٱلطَّٰغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوٓا۟ أَن يَكْفُرُوا۟ بِهِۦ وَيُرِيدُ ٱلشَّيْطَٰنُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَٰلًۢا بَعِيدًا

Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa : 60)

Seseorang tidak dikatakan merendahkan ilmu apabila ia tidak mendatangi abdauddunya (hamba dunia) tanpa alasan darurat atau hajat. Ia juga tidak membawa ilmunya kepada orang-orang yang memiliki kedudukan dan posisi strategis dengan maksud untuk mendapatkan dunia (harta; kedudukan; power) dari mereka. Wallahua’lam [RK]

Sumber: Kajian Kitab Tadzkiratussami’ walmutakallim

Ebook-2
×

 

Assalamualaikum!

Silahkan klik tombol ini untuk terhubung dengan whatsapp kami!

× Chat Disini!