Membangun Sekolah Profetik sebagai Solusi Pendidikan Abad Ini

Ebook

Oleh : Abdullah Efendi, S.Pd., M.Pd. (Konsultan Pendidikan Holistik Profetik)

Krisis pendidikan yang kita hadapi hari ini bukan semata-mata karena lemahnya kurikulum, kurangnya fasilitas, atau rendahnya mutu pengajaran. Akar persoalannya jauh lebih dalam: hilangnya ruh pendidikan yang memanusiakan manusia. Di tengah arus modernisasi dan revolusi digital, sekolah kerap terjebak dalam orientasi kognitif dan kompetisi, sementara aspek spiritual dan moral—yang justru menjadi fondasi peradaban—terabaikan.

Padahal, sejarah Islam telah menunjukkan bahwa kejayaan umat berawal dari pendidikan yang berporos pada nilai-nilai kenabian (prophetic values). Rasulullah ﷺ membangun masyarakat berilmu bukan dengan sekadar transfer pengetahuan, tetapi dengan membentuk kesadaran hidup yang berorientasi kepada Allah. Inilah hakikat pendidikan profetik—pendidikan yang menumbuhkan iman, membangun akal, dan menggerakkan amal.

Dari Sekolah Akademik ke Sekolah Profetik

Sekolah profetik bukan sekadar sekolah agama yang banyak mengajarkan ayat dan hadis. Ia adalah sistem pendidikan yang menyatukan ilmu, iman, dan amal dalam satu kesatuan utuh. Paradigmanya sederhana: ilmu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan memakmurkan bumi.

Dalam sekolah profetik, guru bukan sekadar pengajar, tetapi murabbi—pendidik yang menumbuhkan fitrah spiritual dan moral anak. Ia mengajarkan sains tanpa memisahkannya dari kebesaran Allah, menanamkan logika tanpa menyingkirkan nurani. Sementara siswa tidak sekadar dinilai dari nilai ujian, tetapi dari kesadaran diri, tanggung jawab sosial, dan hubungan mereka dengan Allah.

Kesadaran Spiritual sebagai Fondasi Karakter

Setiap anak memiliki fitrah mengenal Tuhannya. Namun fitrah ini perlu ditumbuhkan agar menjadi kesadaran spiritual yang hidup. Di sinilah pentingnya membangun idrak sillah billah—kesadaran akan hubungan dengan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Kesadaran ini bukan sekadar hafalan doa atau rutinitas ibadah, tetapi kesadaran batin bahwa setiap ilmu, aktivitas, dan prestasi adalah bagian dari ibadah.

Guru dapat menumbuhkan kesadaran ini melalui berbagai pendekatan sederhana namun bermakna: membiasakan refleksi spiritual di awal dan akhir pelajaran, mengaitkan konsep-konsep akademik dengan nilai tauhid, atau memberi ruang bagi siswa untuk merenung dan berdialog tentang makna hidup. Misalnya, ketika mempelajari fenomena alam, siswa diajak merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah di balik hukum-hukum fisika. Atau ketika membahas sosial masyarakat, mereka diajak memahami tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi.

Ikuti Kelas Promotor Profetik. KLIK DISINI

Menyeimbangkan Ilmu dan Tsaqofah

Imam al-Ghazali pernah membedakan antara ilmu dan tsaqofah: ilmu berkaitan dengan pemahaman terhadap ciptaan Allah, sedangkan tsaqofah berkaitan dengan nilai dan pandangan hidup yang membimbing manusia. Sekolah profetik berperan menyeimbangkan keduanya—agar ilmu tidak menjauhkan manusia dari Tuhannya, dan tsaqofah tidak kehilangan relevansinya dengan zaman.

Keseimbangan ini menuntut arah baru dalam kurikulum. Bukan sekadar menambah jam pelajaran agama, melainkan menanamkan cara berpikir Islami dalam setiap disiplin ilmu. Sains, ekonomi, teknologi, hingga seni—semuanya menjadi sarana mengenal dan mengabdi kepada Allah. Inilah makna “ilmu yang bermanfaat” yang disebut dalam hadis.

Guru sebagai Penuntun Jiwa

Perubahan paradigma pendidikan profetik menuntut peran guru yang lebih tinggi dari sekadar pengajar profesional. Guru harus menjadi uswah hasanah—teladan dalam berpikir, bersikap, dan beribadah. Ia bukan hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi menuntun jiwa anak menuju Allah. Dalam konteks ini, mendidik berarti menemani perjalanan ruhani peserta didik menuju kematangan iman dan akhlak.

Oleh karena itu, pembinaan guru menjadi kunci. Sekolah profetik tidak akan tumbuh tanpa guru profetik—guru yang memiliki kesadaran spiritual, keluasan ilmu, dan ketulusan dalam mendidik. Pembinaan semacam ini harus menjadi prioritas lembaga pendidikan Islam hari ini.

Pendidikan Profetik di Era Digital

Ebook-1

Abad ke-21 dikenal dengan disrupsi teknologi, big data, dan kecerdasan buatan. Namun manusia modern justru mengalami kekeringan makna. Banyak sekolah melahirkan generasi yang cerdas berpikir tapi rapuh secara spiritual. Di sinilah relevansi pendidikan profetik: menghadirkan kembali nilai kemanusiaan di tengah dunia yang serba algoritmis.

Sekolah profetik bukan anti-teknologi, tetapi menjadikan teknologi sebagai sarana ibadah dan kemaslahatan. Siswa dilatih bukan hanya agar mahir digital, tetapi juga memiliki etika digital. Mereka tidak sekadar pengguna teknologi, tetapi khalifah digital—yang mampu menebar kebaikan di dunia maya.

Penutup: Saatnya Sekolah Kembali pada Ruh Pendidikan

Sekolah profetik adalah solusi nyata bagi krisis pendidikan modern. Ia tidak menolak kemajuan, tetapi menuntunnya dengan nilai wahyu. Ia tidak menafikan ilmu, tetapi memurnikannya dengan iman. Ia tidak hanya mencetak generasi cerdas, tetapi juga berjiwa ulul albab—mereka yang berpikir mendalam dan hatinya senantiasa terikat kepada Allah.

Kini saatnya lembaga pendidikan Islam berbenah. Kurikulum perlu diarahkan pada integrasi iman, ilmu, dan amal. Guru perlu dibina menjadi pendidik profetik. Dan sekolah perlu menjadi ekosistem spiritual yang menumbuhkan kesadaran bahwa belajar adalah ibadah, mengajar adalah dakwah, dan berilmu adalah jalan menuju ridha Allah.

Semoga dari sekolah-sekolah profetik inilah lahir generasi baru: cerdas secara intelektual, kuat secara spiritual, dan tangguh secara moral — generasi yang akan menuntun peradaban menuju cahaya.

Al-Ghazali. (1993). Ihya’ ‘Ulum ad-Din (Vol. 1–4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

An-Nabhani, T. (2001). Nizham al-Islam [Sistem Islam]. Beirut: Dar al-Ummah.

Azra, A. (2012). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Hidayat, K. (2003). Psikologi Kenabian: Menghidupkan Potensi Spiritual dalam Diri Manusia. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nata, A. (2016). Pendidikan Islam di Era Global. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Nasr, S. H. (1993). The Need for a Sacred Science. New York: State University of New York Press.

Rahardjo, M. D. (2010). Membangun Paradigma Pendidikan Islam yang Integralistik. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Syafii Maarif, A. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bandung: Mizan.

Zainuddin, M. (2015). Pendidikan Profetik: Rekonstruksi Pendidikan Islam Berbasis Kenabian. Malang: UIN-Maliki Press.

Ebook-2

Leave a Comment