Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd.
Tulisan kali ini akan membahas tentang adab-adab seorang guru bersama muridnya dan majelisnya. Hari ini, dunia pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak kasus yang terjadi di sekolah-sekolah melibatkan antara guru dengan muridnya sendiri hingga tingkat yang paling parah. Padahal, diantara aktivitas paling mulia dalam kehidupan manusia adalah mengajari mereka ilmu, terlebih lagi ilmu syari’at. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah, malaikat-malaikat-Nya, dan penduduk langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya, bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”
Tentu masalah ini bersifat sistemik, namun setidaknya dapat diminalisir dengan memahami adab-adab antara guru dengan muridnya serta mengamalakannya. Pertama, hendaknya tujuan dari mengajar para murid adalah wajah Allah Ta’ala, menyebarkan ilmu, menghidupkan syariat, meninggikan kalimat kebenaran, memadamkan kebatilan, mempertahankan kebaikan untuk umat dengan banyaknya para ulama, mewujudkan keberkahan doa mereka untuknya dan doa rahmat dari mereka untuknya, memasukkannya ke dalam rangkaian gerbong ilmu diantara Rasulullah dengan mereka, mencakupkannya ke dalam rombongan muballigh wahyu Allah dan hukum – hukum-Nya. Guru hendaknya meyakini bahwa mengajarkan ilmu termasuk urusan agama yang paling penting dan derajat tertinggi orang-orang mukmin.
Sebagian Salaf berkata,
طَلَبْنَا العِلْمَ لِغَيْرِ اللهِ، فَأَبَى أَنْ يَكُونَ إِلَّا للهِ
“Kami mencari ilmu karena selain Allah, namun ilmu menolak kecuali karena Allah.”1
Kedua, hendaknya tidak menolak mengajar murid hanya karena niat murid belum ikhlas, karena niat ikhlas diharapkan akan terwujud baginya menyusul keberkahan ilmu. Jika murid pemula terasa belum ikhlas, maka sang guru perlu mendorong murid untuk berniat ikhlas secara bertahap melalui perkataan dan perbuatannya. Ada sebuah kalam ulama yang sangat bagus untuk kira renungkan. “Membentuk adab itu dari qudwah sang guru. Adanya mahabbah dari guru ke murid dan sebaliknya melahirkan doa-doa dari guru ke murid-muridnya.”
Ketiga, hendaknya memotivasi murid untuk menuntut ilmu dalam berbagai kesempatan dengan menjelaskan keutamaan-keutamaan yang akan diberikan Allah kepada para penuntut ilmu, yakni derajat yang mulia. Juga hendaknya mendorong murid untuk membatasi diri terhadap dunia dengan sikap qana’ah agar hatinya tidak sibuk dan fokusnya tidak terpecah karena ambisi duniawi. Sebab, fokus kepada ilmu akan menenangkan dadanya, lebih mulia untuk dirinya, lebih tinggi bagi kedudukannya, lebih meminimalkan orang-orang yang hasad terhadapnya, dan lebih membantunya menjaga ilmu dan meningkatkannya.
Faktanya, motivasi semangat belajar atau aktivitas apapun efektif disampaikan melalui cerita. Menceritakan kisah kegigihan dan kezuhudan para ulma terdahulu terhadap ilmu dapat memberikan motivasi kepada murid untuk terus memiliki keinginan yang besar dalam meraih ilmu. Sebab para nabi dan rasul tidaklah mewarisi dinar dan dirham, melainkan mewarisi ilmu.
Keempat, hendaknya mencintai untuk murid apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri. Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Seseorang dari kalian tidak beriman sehingga dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abbas berkata,
أَفْضَلُ النّاسِ عِنْدِي تَلامِيذِي الَّذِينَ يَأْتُونَ مَجْلِسِي وَيَطْأُونَ ظُهُورَ النَّاسِ، وَلَوْ أَسْتَطَعْتُ لَمَنعْتُ عَنْهُمُ الذُّبَابَ
“Manusia yang paling mulia adalah muridku yang datang ke majelis ku dengan melangkahi puundak orang-orang. Seandainya aku mampu agar lalat tidak hingga padanya, pasti aku lakukan,”2
Hendaknya guru memerhatikan kemaslahatan muridnya seperti memperlakukan anaknya sendiri yang paling ia kasihi, bersabar atas perilakunya yang tidak sopan yang mungkin terjadi, bersabar atas kekurangannya, dan membuka maaf sebisa mungkin. Namun, hendaknya guru meluruskan apa yang dilakukan muridnya dengan kasih sayang dan lemah lembut, bukan dengan kekerasan, karena tujuannya adalah mendidiknya dengan baik, membaguskan akhlaknya, dan memperbaiki kehidupannya.
Kelima, hendaknya menyampaikan materi pelajaran dengan mudah dan memahamkan murid dengan lemah lembut, apalagi jika murid itu layak untuk diperlakukan demikian karena adabnya yang baik dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu.
Hendaknya guru memotivasi murid untuk mencatat faidah-faidah dan mengingat masalah-masalah yang unik. Hendaknya juga guru tidak menahan berbagai macam ilmu yang ditanyakan murid sementara murid layak mengetahuinya, karena hal itu bisa menyempitkan dada, menggalaukan hati, dan melahirkan ketidaknyamanan. Namun guru juga tidak boleh menyampaikan apa yang belum layak didengar murid, karena hal itu bisa mengacaukan pikiran dan memecahkan pemahamannya.
Wallahua’lam bish showab.
Sumber: Kajian Kitab Tadzakiratussami’ wal mutakallim.
- Ucapan ini memang masyhur di kalangan ulama Salaf, dan biasanya dinisbatkan kepada beberapa tokoh seperti Sufyan ats-Tsauri, al-Zuhri, atau Imam al-Ghazali dalam versi yang senada ↩︎
- Ucapan ini disebutkan oleh Ibnu Jama‘ah al‑Kinani asy‑Syāfi‘ī dalam karyanya Tadzkirat as‑Sāmi‘, mengutip sebuah tradisi lisan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas radhiyallāhu ‘anhu ↩︎