Tingkatan Pergaulan Orang yang Berilmu

Ebook

Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd.

Adab lainnya dari orang yang berilmu kepada dirinya sendiri antara lain adalah, pertama, hendaknya ia menjaga syiar-syiar Islam yang zahir dan menampakkan sunnah-sunnah. Seperti melaksanakan sholat di masjid secara berjama’ah; menebarkan salam kepada orang yang khusus dan orang-orang umum; amar ma’ruf dan nahi mungkar dan bersabar atas apa yang menimpa dirinya (karena amar ma’ruf nahi mungkarnya); menyerukan yang haq di depan penguasa; menampakkan amal-amal sunnah; meninggalkan perkara bid’ah; melakukan perbuatan mashlahat melalui jalan yang disyari’atkan dan jalan yang diikuti; dan tidak rela menerima dari sekedar perbuatan yang boleh (dari perkara dzohir dan bathin) tapi hendaknya mengambil perkara yang paling baik.

Orang ‘alim yang bermanfaat ilmunya adalah yang selaras perkataan dan perbuatan dengan ilmunya tersebut. Imam Syafi’I berkata, “ilmu itu bukanlah yang sekedar dihafal, tetapi apa yang bermanfaat.” Oleh karena itu, kekeliruan orang ‘alim itu berat, karena dia bisa menimbulkan mafsadat bagi orang yang mengikutinya.

Baca Juga : Tauhid Sebagai Landasan Pendidikan Anak

Kedua, hendaknya dia menjaga dirinya dengan perkara syari’at. Perkataan dan perbuatannya sesuai syari’at; melazimkan tilawah Al-Qur’an (membaca dan me-ittiba’nya); menjaga dzikir kepada Allah dengan hati dan lisan; menjaga do’a dan dzikir sepanjang malam dan siang hari; mengamalkan ibadah sunnah; puasa; haji; dan bersolawat kepada nabi.

Makna tilawah Al-Qur’an di sini, tidak hanya membaca tetapi juga mentafakkuri. Merenungkan maknanya, merenungi perintah dan larangan Allah, merenungi janji-janjiNya, ancamanNya, berhenti pada batasanNya (tidak melanggar larangan Allah), dan berhati-hati dari melupakanNya.

Ketiga, hendaknya orang yang berilmu itu bergaul dengan manusia dengan akhlak yang mulia. Orang yang berilmu akan menampakkan wajah yang berseri-seri; memberi makan orang lain; menahan amarah; bersikap insfhof (banyak memberi maaf); tidak banyak menuntut hak (berlapang dada); berusaha menciptakan rasa aman kepada orang lain; berusaha membantu orang memenuhi hajatnya; menggunakan kedudukannya untuk menolong orang lain; bersikap lemah lembut kepada orang fakir; mendekatkan diri kepada tetangga dan kerabat; dan lemah lembut kepada murid-murid dan membantu mereka.

Dalam pergaulan, orang yang berilmu memiliki empat tingkatan, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Kita bisa menjadikan setiap tingkatan ini sebagai acuan untuk mengukur level baiknya pergaulan kita memperlakukan orang lain. Level terendah adalah mampu menahan amarah. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ

“Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam bergulat. Sesungguhnya orang kuat adalah siapa yang dapat menahan dirinya ketika marah.” (Mutafaq’alaih).

Hadits ini menjelaskan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kekuatan fisik, tetapi terletak pada kemampuan seseorang mengendalikan dirinya dari nafsu amarah dan menang dari bisikan setan untuk marah. Pengendalian diri ini tentu lahir dari ilmu yang diamalkan oleh seseorang.

Ebook-1

Baca Juga : Kemuliaan Pendidik & Amal Jariyah Yang Tak Terputus

Level kedua adalah mampu menahan diri dari mengganggu orang lain. Sebagaimana dirinya tidak suka apabila diganggu orang lain, maka dia menyadari orang lain juga tidak ingin diganggu oleh dirinya. Sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini mengajarkan bahwa kebaikan sejati seorang muslim tidak diukur dari kekhusyu’annya dalam beribadah kepada Allah ta’ala semata, tetapi diukur juga dari penjagaan lisan dan perbuatannya dari menyakiti orang lain.

Level ketiga adalah mampu mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri (itsar). Orang yang berilmu pada level ini akan senantiasa ingat bahwa dalam perkara duniawi adalah terpuji saat dia mendahulukan hajat orang lain sementara di saat itu juga dia memiliki hajat yang sama.

Level keempat atau yang tertinggi, adalah mampu berbuat ihsan yakni membalas kezoliman orang lain terhadap dirinya dengan kebaikan. Di dalam syari’at, manusia diperbolehkan untuk membalas keburukan dengan keburukan yang setimpal meskipun juga ditekankan untuk memafkan. Allah Ta’ala berfirman,

وَجَزَٰٓؤُا۟ سَيِّئَةٍۢ سَيِّئَةٌۭ مِّثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّـٰلِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syura:40).

Dan juga di ayat yang lain,

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا۟ بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِۦ ۖ وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌۭ لِّلصَّـٰبِرِينَ

“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (QS. An-Nahl:126).

Dua ayat di atas menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang manusiawi. Manusia yang terzalimi, secara fitrah pasti memiliki keinginan untuk membalas kezaliman tersebut. Oleh karena itu, syari’at tidak mencela perbuatan pembalasan ini. Akan tetapi syari’at sangat memuji apabila kezaliman dibalas dengan maaf, bersabar, dan berbuat baik setelahnya. Perbuatan ihsan seperti ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang tidak berilmu. Karena dengan ilmu yang lahir dari keimanannya, ia mampu meyakini bahwa ada Allah, Dzat yang akan berlaku adil atas setiap perbuatan manusia. Adab-adab selanjutnya in Sya Allah akan dibahas di tulisan berikutnya. Wallahua’lam.

Sumber: Kajian Kitab Tadzkiratussami’ wal mutakallim

Ebook-2

3 thoughts on “Tingkatan Pergaulan Orang yang Berilmu”

Leave a Comment