Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd.
Tulisan ini adalah pembahasan terakhir tentang adab orang yang berilmu terhadap dirinya sendiri. Mari kita buka dengan perkataan indah Imam Al-Ghazali. “Adab tertinggi seorang penuntut ilmu adalah dia tetap mendengar nasihat atau ilmu dari seseorang dan bersikap seolah-olah baru mendengar, walaupun sebenarnya dia sudah tahu dan berkali-kali mendengarnya. Sepintas ini terlihat mudah, tapi pada faktanya tidak banyak orang yang bisa melakukannya. Dikarenakan manusia memiliki naluri untuk menunjukkan eksistensi dirinya di hadapan orang lain. Menekannya adalah sebuah usaha yang memerlukan hati bersih dan ikhlas.
Sikap tersebut berkaitan dengan adab selanjutnya, yakni hendaknya orang yang berilmu tidak menolak mengambil faidah ilmu yang tidak diketahuinya dari orang lain sekalipun orang tersebut berada dibawahnya dari sisi kedudukannya, nasabnya, atau usianya. Sebaliknya ia tetap bersungguh-sungguh untuk mendapatkan faidah di mana pun ia berada. Bagi orang yang beriman, saat ia menemukan sepotong hikmah kehidupan adalah seperti ia menemukan barangnya yang hilang. Pastilah ia akan memungutnya dimanapun ia berada. Artinya dimanapun, kapanpun, dan dari siapapun ia bisa tetap mengambil ilmu atau belajar.
Baca Juga : Tingkatan Pergaulan Orang yang Berilmu
Sa’id bin Jubair berkata, “Seseorang tetaplah berilmu selama dia terus belajar, jika dia meninggalkan belajar, menyangka dirinya tidak membutuhkan ilmu dan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, maka dia adalah orang yang paling bodoh.”
Adab ini dicontohkan oleh para ulama dahulu. Al-Humaidi yang merupakan salah satu murid imam Asy-Syafi’I berkata, “Aku menyertai asy-Syafi’I dari Mekkah ke Mesir, aku mengambil faidah darinya dalam banyak masalah dan dia mengambil faidah hadits dariku.”
Ataupun pada apa yang pernah dikatakan imam Ahmad bin Hanbal. “Asy-Syafi’I berkata kepada kami, ‘Kalian lebih mengetahui hadits daripada diriku, jika ada hadits yang shahih pada kalian, katakanlah kepada kami agar aku mengambilnya.” Sikap Imam-As-Syafi’I yang mengambil faidah dari orang yang lebih rendah kedudukannya dari sisi keilmuan adalah hal yang harus diteladani.
Adab terakhir pada pembahasan ini adalah hendaknya orang yang berilmu menyibukkan diri dengan menulis, mengumpulkan dan menyusun karya tulis. Menulis itu menuntut ketekunan, muthola’ah, dan muraja’ah.
Al-Khatib al-Baghdadi berkata bahwa menulis akan “menguatkan daya ingat, menajamkan mata hati, menghidupkan tabiat, membaguskan kemampuan untuk menjelaskan, mendatangkan sanjungan yang baik, pahala yang besar, dan mengekalkan namanya hingga akhir zaman.”
Baca Juga : Membangkitkan Kembali Tradisi Intelektual Muslimin
Ada beberapa anjuran untuk orang-orang yang ingin mengamalkan aktivitas menulis, hendaknya ia:
- Menulis sesuatu yang dibutuhkan orang banyak
- Menggunakan ungkapan yang jelas
- Menghindari menulis yang terlalu panjang
- Menghindari menulis terlalu ringkas sehingga tujuan tidak tersampaikan
- Menulis karya yang belum dibuat orang lain
- Tidak merilis karyanya sebelum mengeditnya, mengkajinya, dan menatanya secara berulang-ulang
Imam Ibnu Jama’ah berkomentar terkait orang yang menulis. Beliau mengungkapkan bahwa di zaman sekarang, tidak banyak orang berilmu yang mau menulis karya padahal ia punya ilmu dan kemampuan untuk menulis. Sementara, kita banyak menjumpai karya-karya orang lain yang isinya adalah bait-bait syair, kisah-kisah mubah atau yang lainnya. Padahal tulisan tentang ilmu-ilmu syariat adalah lebih utama dibandingkan yang lain.
Mari kita tutup tulisan ini dengan perkataan indah Imam Al-Ghazali juga, “Jika kau bukan anak raja dan bukan anak ulama maka menulislah.”
In sya Allah di tulisan berikutnya kita akan membahas tentang adab-adab orang yang berilmu terhadap majelisnya. Wallahua’lam bish showab.
Sumber: Kajian Kitab Tadzkiratussami’ wal mutakallim.
1 thought on “Jangan Tinggalkan Dua Hal Ini!”