Oleh : Rahmah Khairani, S.Pd.
Mari kita lanjutkan pembahasan adab-adab seorang yang berilmu terhadap dirinya sendiri. Hendaknya seorang ‘alim itu membersihkan batinnya dan zahirnya dari akhlak-akhlak yang tercela dan mengisinya dengan akhlak yang terpuji.
Akhlak tercela itu banyak macamnya. Diantaranya adalah kebencian; hasad (tidak suka melihat nikmat orang lain dan berharap nikmat tersebut berpindah ke dirinya); marah bukan karena Allah; melakukan kecurangan/penipuan; sombong; riya’; ujub (merasa bangga terhadap dirinya sendiri); sum’ah (senang mendengar pujian); kikir; bersikap jahat; angkuh; tamak terhadap dunia; bangga diri; congkak; berlomba-lomba untuk mendapatkan dunia; berbangga-bangga dalam urusan dunia; merendahkan diri di hadapan orang lain; berhias karena manusia; suka dipuji dengan sesuatu yang tidak dia kerjakan; buta terhadap aib sendiri dan sibuk terhadap aib orang lain; sombong karena kelompok; ashobiyah (fanatik terhadap kelompoknya); punya harap atau takut yang kuat terhadap manusia; ghibah; namimah; kebohongan besar (berdusta atas nama rasul); berkata jorok; dan merendahkan orang lain.
Baca Juga : Tingkatan Pergaulan Orang yang Berilmu
Ini semua adalah pintu segala keburukan, bahkan keburukan yang sesungguhnya. Para ahli fiqih pun tidak lepas dari bencana ini. Hasad, ujub, dan riya’ adalah akhlak yang paling banyak menimpa ahli ilmu. Imam Al-Ghazali dalam Kitab Bidayatul Hidayah menyebutkan bahwa 3 sifat tersebut merupakan induk dari segala kejahatan lain yang lebih berbahaya. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tiga hal yang akan merusak hati: Taat kepada kekikiran, menuruti hawa nafsu, dan ujub kepada diri sendiri (bangga kepada diri sendiri).”
Dapatkah kita bayangkan, orang yang kesehariannya berkutat pada ilmu saja tidak lepas dari akhlak tercela, lantas bagaimana dengan orang yang kesehariannya mengabaikan ilmu?
Akhlak tercela adalah penyakit, dan setiap penyakit ada obatnya. Orang yang berilmu tentu mengetahui obatnya dan mereka akan bersegera untuk mengobati penyakitnya. Pertama, hasad. Hasad adalah penyakit yang merupakan cabang dari sifat kikir. Orang yang hasad adalah orang yang merasa tidak senang akan nikmat Allah yang diberikan kepada hamba yang lain baik berupa ilmu, harta, dan cinta dalam hati manusia. Orang yang hasad akan sangat senang jika nikmat Allah tersebut hilang dari orang lain meskipun ia tidak mendapatkan nikmat itu. Obat hasad adalah menyadari bahwa hasad itu bentuk sanggahan atau protes terhadap Allah yang menuntut pengkhususan sesuatu terhadap orang yang dihasadnya. Hasad mendatangkan kegelisahan dan keletihan dan penyiksaan terhadap hati dan semua itu tidak berpengaruh bagi orang yang dihasadkan.
Baca Juga : Melatih Anak Memikul Tanggung Jawab
Kedua, Ujub. Ujub adalah seseorang yang melihat dirinya sendiri menjadi orang yang mulia dan besar, sedangkan orang lain dilihat dengan hina dan kerdil. Sebagaimana yang sering diucapkan oleh Iblis: “Saya lebih baik daripada Adam, Engkau menciptakanku dari api, sedangkan Engkau menciptakan Adam dari tanah.” Orang ujub adalah orang yang menunjukkan kesombongan saat dia diantara orang ramai. Di dalam berbicara, ia selalu membuat malu orang lain jika ucapannya tidak diterima oleh orang lain. Diantara obat ujub adalah dia harus ingat bahwa ilmu dan pemahaman, kekuatan pemikiran, fasihnya lisan, dan nikmat-nikmat lainnya adalah karunia Allah. Allah yang punya kuasa untuk mencabut itu dari dirinya sekejap mata. Seperti kisah Bal’am yang Allah cabut ilmunya. Hal itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Allah.
Ketiga, adalah penyakit riya’. Riya’ adalah upaya mencari perhatian dalam hati makhluk agar mendapatkan kemuliaan dan kedudukan. Orang yang berilmu sangat rentan dengan penyakit ini. Karena ilmu dan banyak beribadah merupakan kelebihan yang sangat mungkin dibanggakan di depan manusia. Riya’ dapat merusak pahala amal. Diantara obat riya’ adalah berpikir bahwa seluruh makhluk tidak ada yang mampu memberikan manfaat selama Allah tidak menakdirkan itu untuknya dan tidak mampu menimpakan kemudharatan selama Allah tidak menetapkan itu untuknya. Bila semua manfaat ataupun mudharat yang datang adalah atas takdir dari Allah, mengapa dia membatalkan amalnya dengan riya’? Orang yang riya’ itu menganggap orang lainlah yang memberi manfaat kepada dirinya. Seharusnya dia menyadari bahwa balasan atas amalnya itu ada di akhirat. Karena siapa saja yang menampakkan amalnya dengan maksud riya’ maka Allah menampakkan keburukannya kepada orang lain.
Adab-adab lainnya insya Allah akan kita bahas di tulisan selanjutnya. Wallahua’lam bish showab.
Sumber: Kajian Kitab Tadzkiratussami’ wal mutakallim dan Kitab Bidayatul Hidayah.
1 thought on “3 Penyakit Hati yang Bisa Menjangkiti Orang yang Berilmu”