Oleh: Yeni Indriyani S., S.T., M.Pd.
Dalam pengamatan yang mendalam, terdapat sebuah keprihatinan yang patut dicermati mengenai cara berkomunikasi generasi saat ini, baik itu generasi Gen Z, Alpha, maupun istilah-istilah lain yang tengah viral. Perubahan zaman yang tak terelakkan, termasuk dalam hal komunikasi manusia, seharusnya diarahkan pada perubahan yang positif, yaitu menuju nilai-nilai yang lebih luhur. Nilai tersebut tidak hanya terletak pada kemajuan sarana, prasarana, dan teknologi komunikasi, melainkan juga harus mencakup dimensi makna dan ilmu yang tinggi, serta menekankan pada keluhuran akhlak dan perilaku. Keprihatinan ini bukan sekadar ungkapan emosional, melainkan didasarkan pada hasil evaluasi ilmiah yang erat kaitannya, meskipun tidak secara langsung. Berdasarkan evaluasi Programme for International Student Assessment (PISA)[1], pada tahun 2018, Indonesia menempati posisi ke-62 dari 70 negara dengan skor membaca 371, jauh di bawah rata-rata skor 487. Data ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa-siswa di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang mengikuti tes PISA dalam bidang matematika, sains, dan kemampuan membaca.[2]
Pertanyaannya, apa hubungan antara komunikasi dan kemampuan membaca?
Para pakar bahasa dan komunikasi berpendapat bahwa kedua aspek ini memiliki keterkaitan yang sangat erat. Halliday (1975) menyatakan bahwa kemampuan membaca dan berbicara saling berhubungan karena keduanya melibatkan penggunaan bahasa untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran. [3] Vygotsky (1978) menambahkan bahwa kemampuan membaca dan berbicara adalah dua aspek yang saling terkait dalam perkembangan bahasa anak. [4] [5] Hal ini diperkuat oleh penelitian para pakar pendidikan lainnya, seperti Dewey (1916) yang mengemukakan bahwa kedua keterampilan ini harus dikembangkan secara bersamaan dalam proses pembelajaran.[6] Gunning (2003) menegaskan bahwa kemampuan membaca yang baik dapat meningkatkan kemampuan berbicara, karena membaca memperluas kosakata dan pemahaman terhadap struktur bahasa.[7]
Baca Juga : Seberapa Muliakah Derajat Para Penuntut Ilmu?
Ahli linguistik juga menyoroti hal ini. Chomsky (1965) berpendapat bahwa kemampuan membaca dan berbicara memiliki hubungan yang erat.[8] Sedangkan Krashen (1981) menyatakan bahwa membaca dapat meningkatkan kemampuan berbicara dengan memperluas kosakata dan pemahaman struktur bahasa.[9] [10] Dalam perkembangan anak, membaca bukanlah kompetensi yang diperoleh secara instan, melainkan sesuatu yang dipelajari sejak dini melalui apa yang mereka dengar, yang juga berkontribusi terhadap cara berkomunikasi mereka.
Kapan seseorang memiliki kemampuan untuk mendengar?
Kemampuan mendengar bayi sudah terbentuk sejak ia berada dalam kandungan, sekitar usia 23–27 minggu.[11] Oleh karena itu, komunikasi seorang anak sangat dipengaruhi oleh apa yang diperdengarkan dan bagaimana orang tua berbicara kepada mereka sejak usia dini.
Kemampuan komunikasi adalah kemampuan untuk secara efektif mengekspresikan ide, pikiran, dan informasi, serta memahami pesan yang diterima melalui berbagai cara, baik verbal maupun non-verbal, dalam interaksi interpersonal maupun konteks profesional. Kemampuan ini mencakup mendengarkan secara aktif, berbicara dengan jelas, menulis secara efektif, memahami isyarat non-verbal, serta beradaptasi dengan audiens dan situasi. Ada dua poin utama dalam definisi ini yang ingin dibahas lebih lanjut, yaitu apa yang disampaikan dan bagaimana cara menyampaikannya.
Membahas apa yang disampaikan, saat ini terdapat masalah besar yang tidak hanya dialami oleh dunia pendidikan, tetapi juga oleh kehidupan manusia secara umum, termasuk kehidupan seorang Muslim. Masalah tersebut adalah pemahaman yang keliru dalam perspektif Islam, bahkan menyimpang darinya. Dalam kehidupan sekuler yang dihadapi umat Muslim saat ini, kita mendapati pembicaraan antara anak dan orang tua yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsipnya. Misalnya, ketika orang tua memotivasi anak-anak untuk belajar dengan tujuan meraih nilai bagus, lulus dengan baik, mendapatkan sekolah yang berkualitas, hingga memperoleh pekerjaan dengan gaji tinggi, berapa banyak orang tua yang memotivasi anaknya dengan dorongan iman, bahwa Allah SWT akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat, atau mengarahkan anak untuk belajar sebagai jalan menuju majelis ilmu yang merupakan jalan menuju surga Allah SWT.
Baca Juga : Seberapa Muliakah Derajat Para Penuntut Ilmu?
Poin kedua adalah cara menyampaikannya. Di era digitalisasi dan pengaruh luas media sosial, cara komunikasi generasi saat ini sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka dengar melalui platform digital. Kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua sering kali membuat mereka lebih memilih bahasa gaul yang cenderung kasar dan minim makna. Ditambah lagi, pola komunikasi orang tua yang tidak konsisten — kadang sopan dan teratur, namun lebih sering dipenuhi teriakan, cacian, dan makian — jauh dari nilai-nilai kehidupan yang luhur.
Padahal, Islam telah mengajarkan para orang tua tentang cara berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an Surat Luqman ayat 13, Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’”
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Allah menceritakan bagaimana Luqman memberikan nasihat kepada anaknya, Tharan. Luqman, yang dipuji oleh Allah karena hikmahnya, menasihati anaknya, orang terdekat dan paling dicintainya, dengan pengetahuan terbaik yang dimilikinya.
Konteks pertama yang diajarkan Luqman adalah Aqidah. Aqidah adalah hal yang paling mendasar bagi setiap Muslim, menjadi landasan dalam berpikir dan berbuat. Dari cara berpikir dan bertindak yang berlandaskan aqidah inilah terbentuk kepribadian Islam yang khas bagi setiap Muslim. Setelah Aqidah, Luqman menjelaskan tentang syariat, bahwa mempersekutukan Allah adalah dosa besar. Melalui pemahaman syariat ini, Luqman menanamkan karakter integritas pada anaknya, yaitu tidak mencampurkan yang hak dan yang batil, karena mencampurkan keduanya adalah bentuk kezaliman.
الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَـنَهُمْ بِظُلْمٍ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman.” (TQS. Al-An’am: 82)
Dari percakapan Luqman dengan anaknya, terlihat komunikasi yang sarat makna iman dan ketaatan, serta cara komunikasi yang mengajarkan tentang ketinggian akhlak dan luhurnya budi pekerti seorang yang beriman.
Baca Juga : Seberapa Penting Pemaknaan Seputar Hijrah Hakiki?
Contoh lain adalah komunikasi Ja’far bin Abu Thalib, sepupu Nabi Muhammad SAW, yang diutus untuk memimpin rombongan hijrah ke Habsyah (Etiopia) pada tahun 615 M. Ketika Raja Negus bertanya kepada Ja’far tentang agama yang mereka anut, Ja’far menjawab; “Kami dahulu adalah orang-orang yang bodoh, menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan keji, memutuskan hubungan kerabat, dan melakukan kejahatan. Lalu Allah mengutus kepada kami seorang utusan dari kami sendiri, yang kami kenal kebaikannya, kejujuran, dan kesuciannya. Dia menyeru kami untuk menyembah Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, dan meninggalkan apa yang dahulu kami sembah selain Allah. Dia juga menyeru kami untuk berbuat baik, menyambung hubungan kerabat, dan melakukan kebaikan. Dia melarang kami dari kejahatan, perkataan dusta, dan memakan harta anak yatim. Dia juga melarang kami dari melakukan perbuatan keji dan memutuskan hubungan kerabat. Kami percaya kepadanya dan mengikuti apa yang dia bawa. Lalu kami meninggalkan apa yang dahulu kami sembah selain Allah, dan kami menyembah Allah saja. Oleh karena itu, kaum kami memusuhi kami, menyiksa kami, dan berusaha mengembalikan kami kepada agama kami yang dahulu.” (HR. Ibn Hisyam)
Betapa tinggi kemampuan komunikasi Ja’far dari sisi apa yang disampaikan dan bagaimana cara menyampaikannya. Karakter yang kuat nampak jelas, tanpa rasa takut untuk menyampaikan kebenaran meskipun di hadapan penguasa.
Kita memang bukan Luqman, anak kita bukan Tharan, dan kita hidup di masa kini, bukan di masa lalu. Namun, bukankah kita adalah Muslim yang telah diberikan Allah SWT aturan yang lengkap, yakni Al-Qur’an dan Hadist? Jika kita ingin melihat ketinggian akhlak dan keluhuran budi pekerti generasi kita saat ini, maka jadikanlah Al-Qur’an dan Hadist sebagai petunjuk dan pedoman dalam cara kita berkomunikasi. Sehingga kemampuan berkomunikasi yang kita miliki, yang kita ajarkan kepada anak-anak kita, yang mereka pelajari dari kita, memiliki makna yang tinggi karena berlandaskan keimanan dan ketaqwaan. Selain itu, komunikasi harus dilakukan dengan cara yang menunjukkan ketinggian akhlak melalui pemilihan diksi yang tidak hanya tepat, tetapi juga sopan, santun, dan bermartabat. []
[1] PISA adalah suatu lembaga yang melakukan survei triwulanan yang menilai kemampuan siswa berusia 15 tahun dalam membaca, matematika, sains, dan domain inovatif, serta kesejahteraan siswa. PISA pertama kali dilaksanakan pada tahun 2000 dan dilaksanakan setiap 3 tahun sekali untuk menyediakan data yang dapat dibandingkan agar negara-negara dapat memperbaiki kebijakan pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan mereka.
[2] https://bem-fip.umj.ac.id/halo-dunia/
[3]Halliday, M.A.K. (1975). Learning How to Mean: Explorations in the Development of Language
[4] Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes
[5] Bodrova, E., & Leong, D. J. (2007). Tools of the Mind: The Vygotskian Approach to Early Childhood Education.
[6] Dewey, J. (1938). Experience and Education.
[7] Gunning, T.G. (2003). Creating Reading Instruction for All Children.
[8]Chomsky, N. (1965). Aspects of the Theory of Syntax
[9] Krashen, S.D. (1981). Second Language Acquisition and Second Language Learning.
[10]Krashen, S.D. (1985). The Input Hypothesis: Issues and Implications.
[11] https://www.alodokter.com/kemampuan-mendengar-bayi-sudah-dimiliki-sejak-di-kandungan